SUMENEP, Garuda Jatim – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan serius terkait potensi gempa kuat dan tsunami di wilayah Pulau Madura Jawa Timur.
Berdasarkan hasil pemodelan terbaru, pulau yang identik dengan kultur pesisir ini ternyata berada tepat di atas jalur sesar aktif RMKS (Rembang–Madura–Kangayan–Sakala), yang berpotensi memicu gempa hingga magnitudo 7,8.
Kepala Stasiun Meteorologi Trunojoyo BMKG Sumenep, H. Ari Widjajanto, mengatakan bahwa aktivitas tektonik di sekitar Madura masih sangat tinggi dan perlu mendapat perhatian serius.
“Pulau Madura termasuk kawasan seismik aktif dengan potensi gempa besar. Aktivitas Sesar RMKS dan Sesar Bawean masih terus bergerak,” ujarnya. Senin (3/25)
Menurut data BMKG, pergerakan dua sesar besar, RMKS dan Bawean menjadikan Madura sebagai zona dengan tingkat kerawanan gempa tinggi.
Peta seismisitas periode 1914–2022 menunjukkan ratusan titik aktivitas gempa, baik di darat maupun di laut sekitar pulau tersebut.
Beberapa gempa yang terekam dalam beberapa tahun terakhir di antaranya:
3 Juni 2018 – Magnitudo 4,8
15 Januari 2022 – Magnitudo 4,1
12 Mei 2022 – Magnitudo 3,9
“Sumber gempa di Madura masih aktif. Pola ini menunjukkan energi tektonik belum dilepaskan sepenuhnya,” kata Ari.
Salah satu peristiwa paling kuat yang tercatat adalah gempa Sapudi pada 11 Oktober 2018, bermagnitudo 6,4, yang menewaskan tiga orang, melukai 34 orang, dan merusak lebih dari 200 rumah.
“Gempa Sapudi adalah bukti nyata bahwa ancaman gempa di Madura bukan teori. Wilayah ini memang aktif secara seismik,” tegasnya.
Selain potensi gempa, BMKG juga telah melakukan pemodelan tsunami akibat aktivitas sesar di zona tenggara Madura. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jika terjadi gempa besar dengan magnitudo 7,8, gelombang tsunami berpotensi menjangkau pesisir selatan dan timur Kabupaten Sumenep.
“Dalam simulasi gempa M7,8, gelombang tsunami bisa tiba dalam waktu cepat. Ini bukan prediksi waktu kejadian, tapi skenario ilmiah agar masyarakat paham risikonya dan siap menghadapi keadaan darurat,” jelasnya.
BMKG menegaskan, simulasi tersebut merupakan bagian dari strategi mitigasi dan kesiapsiagaan bencana, bukan ramalan waktu kejadian gempa atau tsunami.
Madura ternyata bukan wilayah asing bagi bencana tsunami. Catatan sejarah dan arsip kolonial Belanda mencatat setidaknya tiga peristiwa besar yang pernah melanda kawasan ini:
1. Tsunami Pulau Genteng (7 Februari 1843) – Gelombang besar muncul di selatan Pulau Genteng. Catatan Wichmann (1918) menyebut terbentuknya batu karang baru setinggi 0,3 meter di atas permukaan laut.
2. Tsunami Sumenep (23 November 1889) – Gempa kuat di pesisir Gersikputih menyebabkan air laut naik dan menghancurkan tambak. Air baru surut ke kondisi normal keesokan harinya.
3. Tsunami Madura (29 Desember 1820) – Gempa M7,5 di Laut Flores memicu tsunami yang melanda Sumenep, Bali utara, NTB, NTT, hingga Sulawesi selatan.
Selain tsunami, sejarah juga mencatat sejumlah gempa kuat di Madura, antara lain pada tahun 1863, 1881, 1883, 1891, 1904, 1935, 1936, 2018, dan 2019.
BMKG mengingatkan masyarakat pesisir Madura, terutama di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan, untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap potensi bencana alam ini.
Edukasi tentang tanda-tanda awal tsunami, seperti air laut yang tiba-tiba surut, serta pemahaman terhadap jalur evakuasi dinilai sangat penting.
“Dengan pemahaman dan latihan yang baik, risiko korban jiwa bisa ditekan. Mitigasi bukan pilihan, tapi keharusan,” pungkasnya.(Za/Di)
Penulis : Za
Editor : Redaksi











