SUMENEP, Garuda Jatim— Berdasarkan data resmi Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Sumenep, Jawa Timur, produksi tembakau tahun 2024 mencapai 11.309,88 ton, hal ini menjadi capaian tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Lonjakan tersebut seiring perluasan lahan tanam yang menembus 15.823 hektare atau meningkat hampir tiga kali lipat dibanding masa terendah tahun 2022.
Namun catatan optimistis itu mulai menghadapi tantangan baru. Pada musim tanam tahun 2025, luas lahan justru turun signifikan hingga hanya sekitar 8.000 hektare. Penurunan ini diprediksi bakal berpengaruh terhadap angka produksi di akhir musim panen.
Kepala DKPP Sumenep, Chainur Rasyid, menilai tahun 2024 sebagai momentum kebangkitan industri tembakau lokal yang berhasil mengembalikan kepercayaan petani terhadap prospek pasar.
“Tahun 2024 menjadi momentum kebangkitan tembakau Sumenep. Luas lahan meningkat pesat karena petani melihat prospek harga yang baik, dan kami juga terus memperkuat pengawasan serta pendampingan,” ujarnya. Selasa (28/25).
Performa tembakau Sumenep memang tidak linear. Tahun 2022 menjadi fase paling kritis, luas lahan hanya 5.191 hektare dengan total produksi sekitar 3.050 ton terendah dalam lima tahun.
Situasi itu diperburuk cuaca ekstrem dan harga yang anjlok sehingga membuat banyak petani enggan menanam kembali.
Berikut perkembangan produksi tembakau Sumenep dalam lima tahun terakhir:
Tahun Produksi (Ton) Luas Lahan (Ha)
2020 5.901,59 8.649,19
2021 6.705,59 9.811,11
2022 3.050,87 5.191,15
2023 6.823,24 9.729,92
2024 11.309,88 15.823,20
Grafik tersebut menunjukkan ketergantungan besar petani terhadap dinamika harga dan iklim. Saat harga naik dan cuaca bersahabat, petani langsung memperluas tanam sebagai strategi mengejar keuntungan.
“Wilayah daratan menjadi episentrum utama. Kecamatan Guluk-Guluk, Pasongsongan, Ambunten, Ganding, dan Bluto tercatat sebagai motor produksi dengan karakter tembakau tegal dan gunung yang dikenal berkualitas tinggi dan diserap industri kretek nasional,” paparnya.
Sementara itu, lanjut dia, kecamatan seperti Gapura, Batang-Batang, Batuputih, Rubaru, Dasuk, Lenteng, dan Manding menjadi kawasan produksi sekunder umumnya mengandalkan sawah tadah hujan.
Petani di wilayah tersebut masih rentan terhadap fluktuasi harga dan kualitas daun, yang sering mempengaruhi serapan gudang.
Menurut Chainur Rasyid, naik turunnya kinerja tembakau di Sumenep tak hanya bergantung pada cuaca.
“Kemarau basah dan curah hujan tinggi sering menurunkan kualitas daun, sementara harga dan serapan gudang menentukan semangat petani untuk menanam di tahun berikutnya,” jelasnya.
Ia menegaskan, pentingnya tata niaga yang berpihak pada petani agar keberlanjutan tembakau tetap terjaga terlebih kontribusi komoditas ini masih besar terhadap ekonomi pedesaan.
“Kalau semua faktor ini berjalan beriringan, Sumenep tidak hanya mempertahankan produksi tembakau, tapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan,” pungkasnya.(Za/Di)
Penulis : Za
Editor : Redaksi











