SUMENEP, Garuda Jatim — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, Madura, Jawa Timur, terbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 13 Tahun 2024, tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Pemerintah Daerah menetapkan tanggung jawab yang tegas dan progresif, khususnya dalam membuka akses penyandang disabilitas ke dunia kerja, yang menyangkut perlindungan, fasilitas, hingga dukungan ekonomi berkelanjutan.
Pasal 13 dalam Perbup ini menjelaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan yang layak, sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Ini adalah bentuk konkret dari semangat konstitusi yang kerap hanya menjadi retorika.
Kebijakan ini menjadi pelengkap atas kewajiban Pemerintah untuk mengadakan pelatihan kerja berjenjang (Pasal 17), menyelenggarakan bursa kerja khusus setiap tahun (Pasal 21), dan mendorong perusahaan mempekerjakan minimal satu penyandang disabilitas untuk setiap 100 karyawan (Pasal 26).
“Kami ingin menciptakan ekosistem kerja yang tidak diskriminatif, yang bisa membuka harapan baru bagi penyandang disabilitas. Namun tantangannya adalah membangun kepercayaan dan partisipasi dari kedua pihak antara disabilitas dan dunia usaha,” ujar Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Sumenep, Heru Susanto. Kamis (24/25)
Tak berhenti pada rekrutmen, Perbup ini juga menyentuh persoalan mendasar yang kerap menjadi penghalang utama dalam lingkungan kerja yang tidak ramah disabilitas.
Pasal 30, misalnya, mengatur tentang kewajiban menyediakan fasilitas kerja yang aksesibel, termasuk sarana dan prasarana yang menunjang mobilitas dan produktivitas penyandang disabilitas.
Ia menjelaskan, jaminan sosial dan keselamatan kerja juga dijamin dalam Pasal 31, serta kewajiban perusahaan memberikan dokumen kontrak resmi (Pasal 29), agar hak-hak pekerja disabilitas tidak terabaikan secara administratif maupun hukum.
“Di luar dunia kerja formal, Perbup ini juga memberi ruang penting bagi pengembangan usaha mandiri yang produktif dan berkelanjutan. Pemerintah didorong bekerja sama dengan pelaku usaha untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam proses produksi atau distribusi (Pasal 24),” jelasnya.
Langkah ini, sambung dia, menjawab persoalan klasik: tidak semua penyandang disabilitas cocok dengan sistem kerja konvensional. Dengan pendekatan ini, mereka tetap dapat berdaya secara ekonomi, di luar batas-batas struktural dunia kerja formal.
“Kami sudah buka jalur khusus tanpa seleksi untuk pelatihan kerja, bahkan kami siapkan bimbingan individual. Tapi belum ada respons. Ini soal kepercayaan dan sosialisasi yang harus terus diperkuat,” ucapnya.
Salah satu hambatan, pihaknya mengatakan, diduga berasal dari rendahnya literasi hukum dan ketidakpercayaan penyandang disabilitas terhadap peluang yang dijanjikan. Selain itu, stigma sosial juga masih menjadi dinding tak kasatmata.
“Kami tidak ingin disabilitas terus menunggu. Tapi kami juga sadar, kepercayaan itu harus dibangun pelan-pelan, lewat bukti nyata.” tandasnya.(Za/Di)
Penulis : Za
Editor : Redaksi