SUMENEP, Garuda Jatim – Hari Anak Nasional (HAN) 2025 menjadi momentum penting untuk mengevaluasi sejauh mana pemenuhan hak anak telah diwujudkan, terutama di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Anak-anak hari ini adalah wajah Indonesia di masa depan nanti. Kalau orang tua gagal melahirkan ruang tumbuh yang aman, inklusif, dan penuh kasih, maka saat ini sedang mempertaruhkan masa depan bangsa.
Masih banyak anak di daerah terpencil yang mengalami kekerasan dalam bentuk yang tidak kasat mata, seperti tekanan emosional dari keluarga, atau penolakan sosial karena kondisi fisik dan ekonomi.
Kepala Bidang Perlindungan Anak Dinsos P3A Sumenep, Dwi Regnani mengatakan, salah satu tantangan besar saat ini adalah meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak, baik secara fisik maupun psikis, termasuk perundungan dan eksploitasi digital.
“Kenyataan kelam yang masih membayangi banyak anak di daerah saat ini yaitu kekerasan dalam rumah tangga, perundungan di sekolah, eksploitasi digital,” ujarnya. Rabu (23/25)
Menurutnya, banyak anak yang tumbuh dalam kekerasan yang tidak pernah dianggap kekerasan. Dicaci itu biasa, dibentak dianggap mendidik, dipukul katanya untuk kebaikan. Padahal, semua itu membentuk luka yang panjang.
“Anak-anak ini tidak tahu harus bicara ke siapa. Kadang bahkan ibunya sendiri menyuruh diam, termasuk juga tantangan terbesar dalam isu perlindungan anak hari ini adalah kesehatan mental yang masih dianggap tabu,” bebernya.
Ia menegaskan, kesehatan mental anak harus jadi prioritas, karena banyak dari mereka tampak baik-baik saja, tapi sebenarnya menyimpan trauma. Ini yang sering luput dari perhatian.
“Kita harus mendengar suara anak. Bukan mengatur mereka harus bicara apa. Tapi memberi ruang agar mereka bisa menyuarakan apa yang mereka alami dan rasakan. Ini PR besar kita,” tegasnya.
Yang mereka butuhkan, sambung dia, bukan hanya perlindungan dari kekerasan fisik, tapi juga validasi perasaan. Kadang pula lupa, anak juga bisa stres, bingung, bahkan depresi. Tapi kita anggap itu biasa.
Ia mengajak pemerintah desa, pendidik, tokoh agama, hingga orang tua untuk berhenti memandang anak hanya sebagai penerima bantuan, tapi didiklah anak semaksimal mungkin,karena harapan dan masa depan pasti disambut oleh anak-anak sendiri.
“Anak bukan objek program. Mereka punya suara. Mereka tahu mana yang salah, mana yang membuat mereka takut, mana yang membuat mereka patah, maka tanggungjawab orang tua itu sangatlah besar, pendidikan mental itulah menjadi tonggak utama juga,” ucapnya.
Ia berharap, Sumenep bisa memberikan forum anak desa, klinik curhat anak, hingga pengakuan terhadap anak-anak yang menjadi agen perubahan di lingkungannya.
“Kalau kita sungguh-sungguh mencintai anak-anak kita, maka dengarkan mereka saat mereka belum bisa bicara. Bantu mereka berdiri saat mereka mulai jatuh. Dan lindungi mereka bahkan saat mereka belum sadar sedang dilukai.” tukasnya.(Za/Di)
Penulis : Za
Editor : Redaksi