SUMENEP, Garuda Jatim — Program rehabilitasi Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang menelan anggaran hingga Rp29,3 miliar kini menuai kritik dari kalangan aktivis pendidikan.
Mereka menilai proyek yang digarap Dinas Pendidikan (Disdik) Sumenep itu berjalan lamban dan minim transparansi, padahal dana yang digelontorkan sangat besar.
Berdasarkan data yang dihimpun, total Rp29.343.457.067,00 dikucurkan untuk kegiatan rehabilitasi sarana pendidikan di sejumlah kecamatan.
Dari jumlah tersebut, Rp22,19 miliar bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi 13 Sekolah Dasar (SD), 4 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 5 Taman Kanak-kanak (TK). Sementara Rp7,15 miliar berasal dari APBD Kabupaten Sumenep untuk 16 SD.
Namun hingga pertengahan Oktober 2025, progres fisik proyek baru mencapai sekitar 30 persen, sementara target penyelesaian ditetapkan Desember 2025.
Aktivis Sumenep, Andi Irawan, menilai lambannya progres menjadi sinyal lemahnya manajemen proyek di tubuh Disdik.
Ia menegaskan, publik berhak mengetahui sejauh mana dana sebesar itu benar-benar digunakan untuk kepentingan perbaikan fasilitas pendidikan, bukan hanya untuk memenuhi target serapan anggaran.
“Anggaran hampir tiga puluh miliar bukan angka kecil. Tapi kalau realisasinya baru 30 persen jelang akhir tahun, itu patut dipertanyakan. Pemerintah jangan ulangi pola lama: anggaran besar, hasil minim, dan masyarakat tidak tahu ke mana uangnya mengalir,” ujar Andi. Rabu (22/25)
Andi meminta agar Inspektorat dan Dinas Pekerjaan Umum turun langsung melakukan audit teknis di lapangan untuk memastikan kualitas bangunan sesuai standar.
“Kita sering lihat gedung sekolah baru direnovasi, tapi plafonnya bocor, dinding retak. Itu artinya bukan soal dana, tapi pengawasan. Jangan tunggu rusak baru heboh,” tegasnya.
Ia menyatakan, Disdik Sumenep diketahui menggunakan dua sistem pelaksanaan dalam proyek tersebut. Untuk proyek dana APBN, digunakan sistem swakelola, di mana sekolah menjadi pelaksana langsung dengan pendampingan teknis dari tim Disdik.
“Sedangkan untuk proyek dana APBD, diterapkan sistem non-faktual, yakni melalui kerja sama dengan penyedia lokal dan pelibatan masyarakat sekitar,” imbuhnya.
Namun menurut Andi, dua sistem itu justru berpotensi membuka celah ketidakefektifan dan ketidakseragaman mutu pekerjaan.
“Swakelola seringkali hanya jadi formalitas. Banyak kepala sekolah tidak punya kemampuan teknis membangun, tapi dipaksa tangani proyek. Sementara sistem non-faktual rawan permainan karena penyedia lokalnya tak selalu profesional,” paparnya.
Fahmi menyampaikan, pelibatan masyarakat memang baik untuk pemberdayaan, tapi harus diimbangi dengan transparansi dan pendampingan ketat agar tidak disalahgunakan.
Pihaknya juga menuntut Disdik Sumenep membuka data rinci mengenai lokasi sekolah penerima bantuan, besaran anggaran per proyek, serta jadwal pelaksanaan fisik.
Transparansi tersebut dinilai penting agar publik bisa ikut memantau dan memastikan program rehabilitasi benar-benar bermanfaat.
“Masyarakat tidak butuh laporan seremonial. Yang dibutuhkan itu bukti nyata, gedung sekolah yang aman, nyaman, dan layak. Kalau memang progresnya baru 30 persen, sampaikan terbuka apa kendalanya,” benernya.
“Jika terjadi keterlambatan penyelesaian proyek bisa berdampak langsung pada kegiatan belajar mengajar. Banyak sekolah yang kini masih melakukan proses belajar di ruang darurat karena ruang kelas lama belum selesai diperbaiki,” tukasnya.(Za/Di)
Penulis : Za
Editor : Redaksi