SUMENEP, Garuda Jatim — Dalam momentum gelaran Festival Literasi 2025 yang digagas Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, suara konservasi budaya dalam bentuk buku dan karya cetak mendapat penegasan baru.
Bupati Sumenep, Ahmad Fauzi Wongsojudo, menyerukan upaya sistemik setiap karya cetak dan digital harus punya wadah yang jelas, perlindungan hukum, dan pencadangan digital supaya bisa ditemukan 100 tahun dari sekarang.
Seruan ini muncul selaras dengan rangkaian kegiatan Festival Literasi bertajuk Merawat Tradisi, Menggali Inspirasi Lewat Tradisi yang tengah digencarkan Dispusip untuk menghidupkan kembali budaya membaca di tengah derasnya arus digital.
Festival tersebut menghadirkan bazar ribuan judul buku dengan harga terjangkau sebagai bagian dari strategi menjaring kembali minat generasi muda terhadap buku fisik.
“Buku bukan sekadar komoditas ekonomi atau hiburan sesaat. Buku adalah arsip pengetahuan dan catatan budaya, maka dokumen kolektif yang menjadi penanda identitas daerah,” ujarnya.
Tanpa wadah yang jelas, repositori, kebijakan deposit, interoperabilitas metadata dan mekanisme perlindungan teknis-hukum, banyak karya lokal berisiko hilang, rusak, atau menghilang di tengah pergantian teknologi.
“Ada pula kebutuhan agar karya-karya itu dapat diakses lintas-generasi tanpa kehilangan konteks aslinya,” katanya.
Fauzi menyatakan, untuk mewujudkan visi buku khususnya Sumenep masih bisa ditemukan 100 tahun lagi, ada langkah konkret yang dapat dilakukan baik oleh, Dispusip, penerbit lokal, dan komunitas.
“Mendorong seluruh penerbit atau pencetak lokal dan penulis untuk mendaftarkan ISBN dan menyerahkan salinan digital melalui layanan e-Deposit Perpusnas sebagai langkah hukum dan operasional,” tegasnya.
Ie menambahkan, gunakan PDF/A untuk teks, simpan sumber asli (LaTeX, InDesign) bila tersedia buat checksum rutin replikasi data ke minimal 3 lokasi berbeda (on-site + off-site + cloud atau partner).
“Sosialisasikan dan fasilitasi pendaftaran hak cipta (mis. ke DJKI bila perlu), serta buat panduan bagi penulis tentang kontrak penerbitan yang tidak mengorbankan akses jangka panjang,” imbuhnya.
Festival Literasi bisa menjadi momen transformatif, dari sekadar menjual buku murah menjadi jaksa pengumpulan koleksi karya lokal, kapan pun penulis atau penerbit menjual di bazar, Dispusip bisa sekaligus menawarkan layanan pendaftaran, scanning atau unggah ke repositori, atau voucher e-Deposit ke Perpusnas. Labih lanjut, Fauzi menyampaikan, dengan cara itu, setiap buku yang laku terjual juga berpeluang ‘diselamatkan’ untuk generasi mendatang.
Kegiatan Dispusip yang kini gencar menanamkan budaya baca memberi kesempatan tepat untuk mensinergikan konservasi jangka panjang dengan gerakan literasi massal.
“wadah kejelasan dan perlindungan tentang pelestarian budaya tidak boleh pasif. Ia butuh kebijakan, infrastruktur, pendanaan, dan kolaborasi lintas-institusi,” tandasnya.(Za/Di)
Penulis : Za
Editor : Redaksi